Dari lahir hingga berumur 7 tahun, saya habiskan waktu di Banda Aceh, tepatnya di Ulee Lheue. Rumah kami hanya bersebrang jalan saja dengan laut lepas.
Saya disekolahkan di MIN di daerah Jambotape. Saya lupa bagaimana masa kecil saya, tapi yang pasti saat Ayah belum ada mobil, saya diantar naik vespa. Perjalanan dari Ulee Lheue – Jambotape memakan waktu sedikit lama, jadi Ayah selalu ke kantor buat absen sebentar, lalu izin mengantar saya ke sekolah.
Ketika ayah absen, saya menunggu di vespa, di sebrang jalan. Kami tidak masuk ke parkiran, karena harus memutar lagi. Jadi untuk menghemat waktu, ayah menyebrang dan saya menunggu.
Pernah suatu waktu, ayah lupa bahwa saya menunggu. Dengan baik budinya sayapun tetap di tempat. Duduk di atas jok vespa ayah yang tepat di bawah rimbunan pohon. Saya amati lalu lalang kendaraan yang pada saat itu masih sedikit dan jarang terjadi kemacetan.
Kurang lebih dua jam kemudian, ayah tampak di pagar kantor. Berlari dan menyebrang ke arah saya. Ayah meminta maaf karena lupa bahwa saya menunggu. Dan ayah langsung mengantar saya untuk main di rumah nenek di asrama gajah, Peunayong. Yeee libur sekolaah…
Bukan hanya itu.. Saat ayah baru beli mobil dan baru pandai membawanya, pernah insiden tabrak terjadi di perjalanan menuju sekolah saya. Saat itu labi-labi menutup jalan, sehingga ayah tak tau di depan sana ada mobil menghadang. Mereka sama-sama tidak tau dan menginjak pedal gas. O ow.. Nasib pagi itu, kami tabrakan. Untungnya tidak ada yang terluka. Dan saya akhirnya diantar lagi ke rumah nenek.

Di Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue
Pindah Ke Sibolga
Satu tahun sebelum tsunami, tepatnya tahun 2003, ayah di pindahtugaskan ke Sibolga, Sumut. Saya dan dua adik merasa sedih. Karena ini adalah kali perdana berjauhan dari keluarga besar. Kami pindah meninggalkan nenek, cecek, mami, sepupu dan semuanya.
Malam itu, dengan menumpang bus PMTOH kami berangkat menuju Medan dan esoknya sambung lagi dengan bus menuju Sibolga. Saya dan kedua adik menikmati perjalanan dan berusaha untuk menyamankan diri dengan suasana kota yang baru. Bagaimana caranya? Dengan tidak jauh-jauh dari Ayah dan Bunda.
Waktu sudah pukul 17.00 WIB saat kami tiba di sibolga dan turun tepat di depan rumah dinas kantor. Cuaca dingin menyergap. Di belakang rumah ada bukit. Dan di depan rumah ada sungai.
Namun, meskipun tinggal di rumah dinas, kondisinya tidak sama seperti di Banda Aceh. Di sini, rumahnya hanya 3 dan berjejer. Rumah kami tepat di tengah-tengah. Diapit oleh dua rumah dinas lainnya namun dibatasi dengan pagar.
Hari demi hari kami lalui penuh kehati-hatian. Karena ini adalah kota orang, jadi harus pandai-pandai membawa diri. Apalagi logat kami yang masih sangat Aceh.
Namun, alhamdulillah…ternyata teman-teman di sekolah tidak ada yang mengucilkan, dalam waktu beberapa minggu saya sudah memiliki teman akrab. Endang, Alfi, Mei, Nurhalimah.
Bulan September tahun 2004, kami pulang ke Banda Aceh. Rindu.
Selama di Banda Aceh, kami ke kuburan atok dan mandi di pantai Ulee Lheue. Jalan ke rumah saudara juga singgah ke tetangga saat di rumah dinas dulu, almh wak ina dan alm om nur.
Kami hanya tiga minggu saja di Aceh, setelahnya kami langsung kembali lagi.
Sedihhh pengen ga balik lagi karena maunya dekat almh acik aja… Hiks. Tapi alhamdulillah ternyata saat kami pulang, dua cecekku (cek andri dan cek fadil) serta acik ikut serta. Cek fadil akan ke pekanbaru, sedangkan acik dan cek andri sejenak berlibur di kota sibolga lalu kemudian kembali ke aceh
Kejadian Tsunami, 26 Desember 2004
Pagi itu, pukul 07.15 kami bersiap rihlah ke pantai di Barus, 3 jam dari Kota Sibolga. Namun, saat diperjalanan, kami melihat banyak sekali orang keluar dari rumah, dan ayahpun memberhentikan mobil dan mencari tau.
Ternyata gempa.
Saat itu saya belum tau gempa itu apa, jadi ya karena tidak merasa meminta ayah untuk melanjutkan perjalanan kembali.
Di Barus, kami tidak mandi di pantai. Karena kondisi pantai sangat surut. Entah kenapa hati kecil saya selalu mint pulang.. Dan dua jam kemudian kami pulang beserta rombongan.
Tiba di rumah sudah sore menjelang maghrib. Tetangga menyergap dan berkata,”Bunda Tari, Ayah Tari. Cepat buka tivimu, Aceh tsunami!!!!” ucapnya sambil menghapus air mata.
Ha? Tsunami?
Bundapun bergegas membuka pintu dan menghidupkan TV. Tampak di sana tagline Tsunami Aceh menggema. Di mana-mana. Di semua siaran berita.
Bunda langsung meraih gagang telpon dan memencet nomor telfon rumah siapapun yang ada di aceh. Termasuk wartel (warung telepon) dekat rumah acik, mami, cek andri.
Namun nihil. Tidak tersambung.
Berkali-kali bunda menghapus air mata dan meminta kami berganti baju dan segera tidur. Saya menuruti, karena memang saya tidak mengerti.
Keesokan harinya, kami tidak ada yang sekolah. Ayahpun tidak kerja. Bunda masih saja menonton tv dan berkali-kali mengangkat gagang telfon lalu menutupnya. Hingga saya mengajak bunda bicara.
“Bun, Aceh kenapa, bun?” tanya saya polos.
“Tsunami, nak. Tsunami itu, air laut tinggi datang ke kota. Udah sampe ke simpang lima juga. Ayi tau simpang lima, nak?” Jawabnya sambil menekan lagi nomor saudara di Banda Aceh.
“Tau, bun. Terus acik? Cek andri? Mami? Gimana bun?”
“Belum ada jawaban, nak.” Di tengah kalut bunda masih saja menjawab.
Beberapa menit kemudian, dari siaran berita bunda mendapatkan nomor info terkait tsunami di Banda Aceh. Namun nomornya terus sibuk.
Dan begitu terus hingga seminggu kemudian, bunda mendapat telfon dari Ayahngoh (abang bunda) yang di Pekanbaru. Beliau mengabarkan bahwa Acik selamat, saat ini acik di Takengon tempat mami. Cek andri selamat, meski sempat dikejar air dan lari hingga ke Mata Ie.
Allahu akbar.. Bunda langsung sujud syukur dan memeluk kami satu-satu. Sungguh, pada saat itu saya masih belum mengerti. Yang saya tau, acik dan cecek selamat. Dan bunda tidak terlalu bersedih lagi. Begitupun ayah, keluarga intinya selamat. Meski banyak juga saudara yang meninggal terkena tsunami Aceh 2004.
Inilah hikmah mengapa ayah dipindahtugaskan ke Sibolga. Bahwa memang rencana Allah itu indah. Kalau tidak, bisa dibayangkan bagaimana nasib kami yang tinggal di Ulee lheue saat itu?
Namun, pada akhirnya, Acik tetap harus pergi dari sisi kami menuju ke Rabb Yang Maha Tinggi pada tahun 2007, beberapa bulan setelah kami kembali dari perantauan…
-semoga Allah ampuni mereka-
Banda Aceh, 15 April 2016
@cutdekayi
*Acik : Nyakcik(Nenek)
Cecek : Paman
Labi-labi : angkutan umum di Banda Aceh
Takengon : kota yang terletak di dataran tinggi Gayo
30 Comments
Julia
16 April 2016 at 08:17Sedih bacanya Mba’,

Semoga mereka yang jadi korban tsunami dan bencana alam lainnya, dapat tenang di sana, Aamiin..
Salam kenal Mba’..
cutdekayi
16 April 2016 at 18:25Iya mba, makanya kdg aku trauma ga trauma gt main ke laut. Kepikiran. Pdhl aku ga ngalamin langsung. Salam kenal kembali mba..
@edawardani
16 April 2016 at 20:18Sedih bgt mb bacanyaaa, masyAlloh semua ada hikmahnya yah Mb, smg amal ibadah acik di terima disisi Alloh, Aamiin
cutdekayi
19 April 2016 at 09:54Aamiin allahumma aamiin makasih ya mbak :’)
fanny fristhika nila
16 April 2016 at 22:55ah, aku sedih baca ini… aku juga dulu tingal di Ulee Lheue mbak.. kuliah bareng mantan suami yg pertama. Tapi kemudian aku sendiri pindah ke Malaysia utk nerusin kuliah di sana.. mantan suami ttp di banda aceh.. awalnya smpet ga trima, sempet marah krn dipaksa pindah, tp memang papa udh lama ngerencanain utk aku kuliah di malaysia, bahkan sebelum nikah. Tapi kemudian, baru tau hikmah kenapa aku harus pindah dari aceh, itu krn tsunami.. seandainya aja aku ttp di aceh, mungkin aku skr jg udh ga ada .. Kadang Tuhan baru ngizinin kita ngerti dari semua rencana Nya, lama sesudah itu ya mbak :).
cuma yg bikin aku sedih sih, dr thn 2002 aku ninggalin aceh, ampe skr, aku belum pernah kesana lagi…
Suami yg skr ga ngizinin, krn dia masih kuatir ttg keamanan aceh sih.. Padahl udh berkali2 aku bilang, Aceh udh aman, udh ga ada GAM dll nya itu.. tapi tetep sih, dia masih belum mau ke aceh.. kalo ortuku sendiri sih semuanya di medan.. makanya kita ga ada alasan juga utk berkunjung ke aceh
cutdekayi
19 April 2016 at 09:58Iya, mbak. Aku juga dulu sedih pas pindah jauh dari keluarga. Tapi Allah punya maksud. Di ulee lheue? Jangan-jangan bundaku kenal lagi sama mbak? Kami di ulee lheue dari 96-2002 akhir mbak. Rumah kami dekat cafe enjoy.
Iya mbak, banyak yg masih mikir begitu tentang aceh. Smg ke depannya banyak yang sayang sama aceh, hihihi. Ngomong-ngomong trauma, akupun trauma mbak ke pantai. Padahal ga ngalamin, tapi gatau takut aja. :’D jd kalo ke pantai, seneng sih tapi was was hahaha
Han
17 April 2016 at 08:57Ini nih, akhirnya ada yg ‘menggelitik’ saya buat melinangkan air mata. Walau beda cerita sih, tapi yg jelas saya juga sering nanya sama diri saya sendiri,
“emang saya kemana waktu tsunami itu? lagi ngapain?” karena waktu tsunami, saya masih umur 7 tahun. Dan baru ingat kalau Aceh pernah tsunami setelah punya kenalan orang Aceh yg sampai sekarang deket, yg sering cerita soal tsunami.
Moga Aceh aman selalu
cutdekayi
19 April 2016 at 10:02Hehe iya mbak, setiap kita punya cerita dan cerita itu terus akan mewarnai kita meski kita ga ceritain ;’)
Terimakasih dah mampir, mbak. salam kenal kembali
Rach Alida Bahaweres
17 April 2016 at 14:54Sedih ya membaca kisah ini. Smoga mereka yang menjadi korban tsunami diterima disisi Allah. Sama dengan sepupunya mama saya yang juga menjadi korban. Kebetulan almarhum dinas sebagai polisi
cutdekayi
19 April 2016 at 10:03Aamiin allahumma aamiin Mba Alida. Meski sudah lama, tapi suka teringat dan membekas ya mbak..
Beautyasti1
17 April 2016 at 16:37Goncangan nya untung gak nyampe sibolga ya makk.. Tapi sibolga bukannya di sumut ya, sebagian sumut bukannya ada yang kena goncangan tsunami itu ya makk.. Btw kalo pas tsunami itu kebetulan aku pas nonton tipi hehehe
cutdekayi
19 April 2016 at 10:05Nyampe maaak. Tapi kami ga terasa karena di dalam mobil. Hempasan ombak pun kena. Cuma di Barus, pas kami pulang baru naik airnya.. Ga pagi kaya di Aceh, sih. Tapi sorean gitu. Untung aja pas itu udah pulang T.T
Primastuti satrianto
17 April 2016 at 17:59RencanaNya memang tidak pernah salah ya cutdek ayi, kadang manusia memahami hikmahnya yg suka telat memahaminya. Alhamdulillah mereka selamat ya.. Kl boleh tau waktu itu ada dimana?
cutdekayi
19 April 2016 at 10:08Betul manda. Kadang kita suka marah sama Allah, padahal ada maksud dan tujuan dari setiap takdirnya.
Siapa yg ada di mana mbak? Saya? Keluarga?
Saya di Sibolga, mbak. Kalo keluarga adanya di banda aceh. Cuma acik (nenek) saat itu sedang ke takengon, daerah dataran tinggi gayo
Dewi Ratih
19 April 2016 at 10:05Merinding bacanya, walaupun kelg Ai jauh dr lokasi, tp getirnya bunda menunggu kabar keadaan keluarga itu rasanya… Labi-labi, Cek dan Acik artinya apa Ai?
cutdekayi
19 April 2016 at 10:10Ah iya mbaak ai lupa naro pengertian yaa. Ntar diedit deh hihihi.
Acik = Nyakcik = Nenek
labi-labi = angkutan umum
cecek : oom
Aira Kimberly
20 April 2016 at 05:39Setiap menngingat kembali tsunami Aceh, airmata kembali berderai. Semoga mereka yang mendahului kita diberi maghfirah dan ketenangan di alam sana. aamiin
cutdekayi
22 April 2016 at 06:36Aamiin allahumma aamiin. Semoga menjadi pengingat bahwa hidup ini cuma sementara ya mba..
kania
20 April 2016 at 14:08merinding Ayi, membayangkan mereka yang kehilangan keluarga dan bayangan tentang musibah tsunami itu sendiri. saya yg cuma liat di tv aja berkali2 sebut nama Allah wkt itu, sedih, takut. gimana yg mengalami sendiri dan punya keluarga disana ya.
cutdekayi
22 April 2016 at 06:37Iya mbak, dulu juga sempat kena gempa setelah tsunami di aceh. Pas itu masih d sibolga, tengah malam pula. Ya Allah sampe skrg masih trauma :'(
khairiah
20 April 2016 at 14:21jadi keingat balik tsunami
cutdekayi
22 April 2016 at 06:38Iya cutkak. Cutkak dulu di mana pas tsunami?
ketapelkecil
21 April 2016 at 01:50kirain hewan labi-labi loh ay :3 sampe mikir knpa bsa bkin tabrakan, apa mreka rombongan hhehe
Al-fatihah buat Acik Ayi
jdi inget kakek dhiya yg udah alm jg, ga prnah mau jauh wktu msh kcil :’)
cutdekayi
22 April 2016 at 06:50Hewan ada yang namanya labi-labi? Ejangan2 labi-labi aceh mmg asal usulnya dari sana? Hahaha :’D
Iya dhiy, alfatihah jg buat kakek dhiya ;’) begitulah kekuatan bathin cucu-nenek
Rebellina
21 April 2016 at 04:50aku masih ingat waktu kejadian tsunami ini, aku sibuk nelponin rekan bisnis di Meulaboh dan Banda Aceh. Tak satu pun telponku diangkat. Sampai kini, aku tidak tahu lagi kabarnya. Yang di Banda Aceh, denger-denger selamat walau hilang kontak, sedangkan yang di Meulaboh.., sepertinya..(ah jadi sedih ingat kakak ini yang di meulaboh. dia udah anggap aku saudara..)
cutdekayi
22 April 2016 at 06:52Semoga Allah hapuskan dosa-dosa mereka ya mba. Begitulah, kematian sangat dekat.
Anisa AE
21 April 2016 at 09:34Duh dulu nyesek banget pas liat berita ini. Sampe nangis-nangis gak tega
Khoirur Rohmah
21 April 2016 at 12:31aku masih inget itu gimana peristiwanya mbak…
bneran sedih sngat mski tdak ada kluarga di sana
Kang Nurul Iman
22 April 2016 at 14:07Hmm kalau mengingat tsunami di aceh dulu itu rasanya sedih banget bawaannya pengen nangis mulu soalnya saya selalu mikir bagaimana kalau kejadian itu menimpa tempat tinggal saya pasti sangatlah tidak diinginkan dan saya sangat sedih sekali waktu itu karena banyak sekali orang yang meninggal akibat dari tsunami.
zaenudin
11 June 2016 at 08:23waktu tsunami aceh saya baru masuk SMP. dan ingat sekali ketika mau liburan ke pantai pangandaran,waktu itu masih ditutup karena efek Tsunami aceh.
Salam Kenal Mba